Friday, November 22, 2013

Filled Under: ,

Kejujuran

Share
Tidak ada tempat bagi kejujuran, begitu celetuk seorang teman. Pendapat seperti ini dianggap keliru, karena sebenarnya tempat yang dimaksud itu banyak, namun kejujurannyalah yang jarang. Lihat saja kasus ibu yang menggemparkan dunia pendidikan kita yang anaknya diminta memberi contekan di kelas sementara si ibu yang protes malah dikucilkan oleh warga kebanyakan.

Ibu Siami ini mungkin kesempitan di lingkungannya, tapi oleh karena itulah ia dibela dimana-mana dan malah diundang ke istana negara.

Jadi sebenarnya tempat bagi kejujuran itu terbuka lebar, penghuninya lah yang jarang. Kepada si jujur, si berani, si luhur, sejatinya disediakan tempat yang luas sekali.

Persoalannya ialah mengapa tempat yang luas itu selalu sepi? Karenanyalah, supaya men jadi ramai, kejujuran harus dirangsang, dibiasakan dan ditradisikan. Kita sudah tahu betapa kuat kepatuhan kita kepada tradisi itu.

"Keliru" saja, jika sudah jadi tradisi akan tetap dijalani, misalnya menjual barang-barang di rumah agar bisa menyumbang tenaga yang punya hajat, itu Keliru secara urgensi secara urgensi, tapi secara tradisi, dia bisa dikucilkan dari norma yang sedang berlangsung.

Kita sudah tahu betapa kuat kepatuhan kita terhadap tradisi itu, maka kalau yang keliru diganti Benar, lalu Kebenaran itu ditradisikan, kekuatan kita dalam menjalani kebenaran pasti akan kuat sekali, karena apa? Karena Kebenaran sudah menjadi tradisi. Kita akan takut melanggar tradisi, jika tradisi itu isinya kebenaran, maka kita akan mentradisikan kebenaran, karenanya.. mentradisikan kebenaran dan kejujuran itu harus segera dimulai, jika sudah menjadi tradisi, berbuat jujur dan benar itu akan terasa ringan dan mudah.

Tidak sulit lagi. Tidak berat lagi seperti sekarang ini. Mengapa ringan? Karena semuanya, semua orang ikut menjalani. Kenapa mudah? Karena semua saling menduplikasi, satu memeragakan, yang lain meniru. Itulah inti dari duplikasi.

Jika hal ini terus berjalan, akan jadilah kebiasaan, jika sudah menjadi kebiasaan, akan jadilah keharusan. Harus benar dan harus jujur, sebab kalau tidak, seseorang akan dianggap menyalahi tradisi. Siapa saja yang dianggap menyimpang dari tradisi akan diasingkan dan dianggap sebagai orang buangan.

Bayangkan jika kita memiliki tradisi kebenaran semacam itu, Indonesia pasti akan menjulang semakin tinggi. Salah, tidak jujur, korupsi akan dicap menyalahi, bertentangan dan berseberangan dengan tradisi. Lihatlah sikap kita terhadap tradisi itu saat ini, sungguh masih tetap saja kuat sekali hingga saat ini.

Tetapi isi tradisi itu juga masih tetap kuat. Ada tradisi untuk membela kekeliruan sekarang ini, tradisi menolong kesalahan, tradisi menyantuni kebodohan yang buahnya malah berupa penjerumusan.
Penjerumusan ini sungguh terjadi di banyak segi. Seluruh murid bodoh harus dibantu kelulusannya, kalau perlu diberi contekan. Bahkan hingga diberlakukan sistem subsidi. Nilai si pintar dikurangi untuk diinfakkan kepada yang kekurangan (murid yang tidak pintar maksudnya, red.).

Jika hendak membuat SIM tidak perlu untuk melewati rangkaian ujian untuk beberapa individu dan pribadi, malah kalau perlu umur dituakan. KTP pun jangan dipersulit atas nama pertemanan. Inilah mengapa seorang penduduk bisa memiliki bermacam KTP yang berbeda lebih dari 6 buah. Semua urusan dimudahkan, jangan dipersulit, harus gotong-royong, welas asih dan terbiasa menyantuni sesama yang membutuhkan. Begitu tradisi pemerintah kita.
Sungguh niat mulia itulah yang menjadi tradisi kita di Indonesia. Itu adalah tradisi yang kuat sekali, saling ingin membantu meringankan, memudahkan dan ingin melancarkan. Lalu apa yang salah dari semua itu? Tidak ada! Ini tradisi luar biasa! Mulia sekali!

Kebiasaan yang sudah mengakar itu tidak perlu diubah, karena bisa jadi mustahil untuk kita merubahnya. Yang perlu diperhatikan, yang perlu kita ubah cukup muatannya, isiannya, sedangkan bentuknya, Biarkanlah! Kita harus tetap terus tolong menolong, berjibaku bahu-membahu, tetapi tidak untuk soal-soal yang keliru.

Maka biarlah anak kelas tiga SD ini misalnya menjawab soal dengan jujur walau mungkin keliru sepanjang kejujuran itulah yang sedang menjadi fokus dan prioritas kita untuk ditradisikan. Misalnya pertanyaan kepada anak SD, yang bunyi pertanyaannya begini; "Apa tindakanmu jika teman sebangkumu ketinggalan membawa pensil?". Jawabannya; A. Meminjami. B. Membiarkan. C. Membelikan.

Di dalam benak anak kecil itu, menjawab jujur sesuai dengan apa kata hatinya adalah kebutuhan, lalu apa jawabnya? Ia menjawab untuk membiarkan. Karena memang itu yang dia lakukan dan berkesesuaian dengan hati dan situasinya saat itu.

Karena jangankan meminjami pensil kepada teman yang lupa, dia sendiri mungkin pada saat itu melakukan hal yang sama, kelupaan membawa pensil, jadi tidak mungkin anak itu dengan segala kecanggihan otaknya berinisiatif untuk meminjami bahkan membelikannya dengan uang yang tidak ia punya, namun berkat olah otaknya tadi, ia berinisiatif -lagi- mengambil uang teman lainnya untuk kemudian membeli sebuah pensil untuk temannya yang kelupaan itu tadi.

Jika kejujuran ingin kita tradisikan, jawaban anak kecil seperti itu sekalipun harus dibenarkan, dan itu butuh menjadi sebuah kesepakatan bersama sampai ke Menteri Pendidikan. Itulah caranya bagaimana kita membuat sebuah tradisi. Tradisi itu harus dijalankan bersama-sama untuk waktu yang sangat lama.

0 comments:

Post a Comment

Terimakasih untuk kesediaannya bertandang dan sekedar mencoretkan beberapa jejak makna di blog ini. Sekali lagi terimakasih. Mohon maaf jika kami belum bisa melakukan yang sebaliknya pada saudara-saudari semua.