Sunday, November 17, 2013

Filled Under: , , , ,

Museum Buya Hamka

Share
Museum Rumah Kelahiran Ulama

Ranah Minang tidak hanya dikenal keindahan panorama alamnya tapi juga dikenal sebagai daerah yang banyak melahirkan ulama Islam. Salah satunya adalah Buya Hamka yang sejarah masa kecilnya dapat diketahui melalui Museum Rumah Kelahiran Buya Hamka.

Sebuah rumah gadang terletak di tepi Danau Maninjau, Kampung Tanah Sirah, Nagari Sungai Batang, Sumater Barat. Atapnya terbuat dari daun kering terbagi empat, menghadap ke Danau dan membelakang ke timur. Halamannya tidak terlalu luas, namun dihiasi bunga-bunga indah dan terletak di lereng bukit.

Bentuk bangunannya masih tegak seperti rumah adat Minangkabau dengan empat tanduk. Dinding-dindingnya terbuat dari kayu ukir berwarna cokelat. Di dalamnya masih tersimpan benda-benda peninggalan Buya Hamka waktu masih kecil. Untuk sampai kerumah itu, pengunjung harus melewati jalan tangga terbuat dari semen setinggi kira-kira empat meter.

Mengunjungi Museum Buya Hamka memiliki makna tersendiri bagi umat Islam. Dengan mengunjungi museum itu kita akan mengenal sosok Buya Hamka yang sederhana tumbuh dari keluarga religius dan kemudian menjadi ulama kharismatik di nusantara dan dunia Islam.

Buya Hamka dilahirkan di Sungai Batang Maninjau, Sumatera Barat pada tanggal 17 Februari 1908. Nama lengkapnya adalah Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Ayahnya adalah seorang ulama terkenal Dr Haji Abdul Karim Amrullah alias Haji Rasul pembawa paham pembaharuan Islam dari Minagkabau.

Sejak kecil Buya Hamka belajar agama kepada ayahnya dan melanjutkan sekolah di Diniyah Schoool serta Sumatera Tawalib di Padang Panjang. Guru-gurunya waktu itu adalah Syaikh Ibrahim Musa Parabek, Engku Mudo Abdul Hamid dan Zainuddin Labay el-Yunusi.

Padang Panjang waktu itu ramai dikunjungi pemuda dari berbagai daerah untuk belajar ilmu agama dibawah pimpinan ayahnya. Hamka sangat tekun belajar dan rajin membaca buku untuk mengasah otaknya dan menyerap berbagai ilmu pengetahuan.

Buya Hamka kemudian tumbuh menjadi ulama kelas dunia yang kemasyhurannya tidak hanya terdengar di nusantara tapi juga sampai ke Malaysia, Singapura, Timur Tengah bahkan Amerika.

Nama besar Buya hamka misalnya dapat dilihat di deretan sekolah al-Azhar di Jakarta serta Masjid Agung al-Azhar yang berdiri kokoh sejak zaman Orde Baru. Konon mana masjid itu diberikan oleh guru besar al-Azhar Mesir, Syaikh Muhammad Syaltut karena kekagumannya atas bangunan masjid dan aneka kegiatan yang dipimpin oleh Buya Hamka.

Nama Buya Hamka juga melegenda melalui kitab tafsirnya bernama Tafsir Al-Azhar yang konon ditulis oleh Buya Hamka di balik jeruji penjara tahun 1960-an. Majelis tertinggi Universitas al-Azhar, Cairo, Mesir memberikan gelar Doctor Honoris Causa (Ustadziyah Fakhriyah) pada Hamka tahun 1959. Universitas Kebangsaan Malaysia juga memberi gelar yang sama dibidang kesusastraan tahun 1974. Sedangkan Universitas Prof Dr Moestopo Jakarta juga memberi gelar Profesor Kehormatan pada tahun 1966.

Atas beberapa penghargaan tersebut Buya Hamka pernah menulis sepucuk surat kepada salah saeorang kawannya bernama Solihin Salam (1990 : 392). Ia menyampaikan pesan : “Ananda tahu bahwa saya tidak sekolah! Hanya kekerasan hati dan penderitaan-penderitaan sajalah yang mengantar saya sampai dapat pengakuan dari universitas paling tua di dunia ini.”

Pada tanggal 24 Juli 1981, Buya Hamka wafat di Jakarta setelah membidani dan mengemban amanah sebagai ketua pertama Majelis Ulama Indonesia. Buya Hamka meninggalkan sepuluh orang anak, yang terdiri dari tujuh anak laki-laki dan tiga perempuan.

Pribadi Hamka

Berdirinya Museum Buya Hamka ini diprakarsai oleh gubernur Sumatera Barat waktu itu H Zainal Bakar dan beberapa tokoh yang pernah dekat dengan Buya Hamka. Dana pembangunanya berasal dari APBD pemerintah Sumatera Barat senilai 500 juta dan sumbangan berasal dari pribadi-pribadi seperti tokoh Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), Datuk Hakim serta beberapa pengusaha asal Sumatera Barat.

Museum ini diresmikan penggunaannya pada tanggal 11 November 2001 oleh gubernur Sumatera Barat, H Zainal Bakar. Di dalamnya tersimpaan berbagai peninggalan Buya Hamka mulai dari tidur yang berisi ranjang berbalut kelambu putih yang dulu sempat menjadi tempat tidur Buya.

Di Museum Buya Hamka juga berdiri sebuah mushalla kecil yang posisinya berada disebelah utara. Ada pula ruang khusus untuk menerima tamu yang dilengapi kursi terukir. Disebelah ruang tamu, tersususun lima rak buku kaca tempat menyimpan buku-buku koleksi museum yang jumlahnya sekitar 200 judul. Buku-buku itu merangkum sosok dan pemikiran Buya Hamka selama berkiprah di masyarakat sebagai ulama pemikir Islam di Indonesia dan dunia Islam.

Dalam dunia tulis menulis, Buya Hamka juga termasuk tokoh yang produktif menulis. Beberapa karyanya meliputi berbagai bidang diantaranya kesusastraan, sejarah, otobiografi, politik, tasawuf, dan agama yang sampai saat ini masih menjadi rujukan pemikiran Islam dan banyak diburu para pelajar dari Indonesia maupun manca negara.

Di sudut ruangan lainnya tampak beraneka ragam barang, seperti sebilah tongkat yang dalam rak tersendiri, dua kursi rotan, ada juga lemari kaca berisi pakaian dan jubah serta aksesoris lain yang biasa dikenakan Buya. Di semua dinding banyak tergantung foto-foto Buya dengan berpakaian sorban, menggunakan jas, serta foto-foto bersama tokoh nasional, kerabat dan keluarganya.

Buya Hamka memang dikenal ulama yang modern dan selalu menghargai orang lain sebagaimana ia menghargai dirinya. Ia selalu berfikir optimis karena ia percaya bahwa semua orang pada dasarnya baik dan memiliki keinginan untuk menjadi baik. Dengan modal itulah ia mampu memperkenalkan dunia agama kedalam dunia sastra sehingga keduanya terasa akrab melalui karya roman dan cerita pendek yang ditulisnya dimasa muda.

Dengan berpegang pada prinsip tersebut ia selalu berupaya bersikap apa danya dan tidak pernah ada rasa takut kepada orang lain. Sikap tegas dalam mempertahankan prinsip juga ia miliki yang dibuktikan ketika ia mundur dari jabatan ketua MUI karena mempertahankan fatwa haram menghadiri dan merayakan natal bersama bagi umat Islam.

Kepiawaiannya sebagai seorang pengarang, pujangga dan seorang pemikir Islam semakin diakui orang. Disamping mempelajari kesusastraan Melayu Klasik Hamka juga bersungguh-sunggu mempelajari kesusastraan Arab. Karangannya yang sangat terkenal antara lain : Tenggelamnya Kapal Vanderwijck (1937), Dibawah lindungan Kabah (1936), Merantau ke Deli (1940), Terusir, Keadilan Ilahi.

Pada tahun 1950-an Buya juga menerbitkan beberapa karyanya antara lain Riwayat Perjalanan ke Negeri-negeri Islam, Di Tepi Sungai Nil, Ditepi Sungai Dajlah, Mandi Cahaya di Tanah Suci, Empat Bulan di Amerika. Museum Buya Hamka menjadi saksi bisu seluruh aktivitas dan sejarah hidup sang tokoh yang telah berhasil menjadi pembimbing umat menyeberangi samudra kehidupan dengan ilmu dan amal shalih.

/adnan

0 comments:

Post a Comment

Terimakasih untuk kesediaannya bertandang dan sekedar mencoretkan beberapa jejak makna di blog ini. Sekali lagi terimakasih. Mohon maaf jika kami belum bisa melakukan yang sebaliknya pada saudara-saudari semua.